Cobaan Yang Berubah Menjadi Anugerah
                     Oleh: Siera Annadiya

29 JULI 2015
Seluruh duniaku seakan berhenti, mimpi-mimpiku kandas. Aku membenci mereka, papa, mama, aku muak dengan semua ini! Aku membenci takdir yang mengharuskanku mengubur dalam-dalam semua mimpiku, semua cita-citaku telah terkubur bersama rencana yang telah tersusun rapi dan yang aku harapkan indah. Ingin rasanya aku berteriak mengatakan dengan tegas penolakan itu, ingin pergi jauh ke planet lain agar bisa bebas dari semua yang memaksa.
Aku tidak suka kekangan, aku tidak suka paksaan, tapi aku tidak bisa menolak hal itu. Tidak mungkin! Aku memang bukan anak baik-baik, bahkan sangat jauh dari kata sholihah. Tidak jarang, aku membantah siapapun yang menghalangiku, tidak terkecuali papa mamaku. Aku hanya seorang anak yang beranjak dewasa yang ingin menentukan tujuan hidupnya sendiri,tapi aku juga seorang anak yang  harus mematuhi kedua orang tua, seorang anak yang harus rela berkorban demi kebahagiaan mereka, meski harus mengorbankan kebahagiaanku sendiri. Aku juga seorang anak yang tentu masih punya hati yang tidak akan sanggup melihat kabut hitam terus menggelayuti wajah tegar tegas papa dan wajah ayu lembut mama. Itu tidak akan pernah aku lakukan. Yang perlu kalian tahu, aku orang pertama yang akan berdiri paling depan, membabat habis siapa saja yang menyakiti mereka. Harusnya mereka tahu alasan terkuat aku menentang keras keputusan mereka “Adalah aku tidak pernah ingin jauh dari mereka barang sebentar!”
         Maafkan papa Sa, bukan maksud papa mau kamu jauh dari kita nak, ini semua demi kebaikanmu. Dunia luar sudah tidak terjaga lagi nak, pendidikan setinggi dan sehebat apapun jika tanpa dasar agama itu tidak akan berguna dengan baik. Sama seperti kapal, sebagus dan semewah apapun kapal itu, setinggi apapun kapal itu, tentu tidak akan bisa berjalan tanpa nahkoda. Begitu juga hidup. Kami memaksamu mondok bukan tanpa alasan. Agar kamu memiliki pegangan hidup dan hidupmu akan terarah. Insya Allah.” Suara papa bergetar, aku tahu ia sedang menahan tangisnya.
Pukul 12.00 WIB.
Aku benar-benar tiba di tempat yang papa dan mama namakan pesantren. Aku tidak tahu apa sebenarnya definisi pesantren, tempat yang papa mama pilih untukku menimba ilmu ke jenjang selanjutnya dengan mengorbankan semua mimpi-mimpiku dengan mengenyampingkan prestasiku yang bisa dengan mudah masuk ke SMA favorit. SMAN 2 itulah mimpiku, bisa bersekolah disana menjadi mimpi banyak teman-teman SMP ku. Dan aku yang bisa dengan mudah masuk ke SMA itu harus mengubur dalam-dalam kesempatan itu. Aku lulusan terbaik, semua SMA favorit tentu dengan senang hati menerimaku. Aku bisa mencapai standar yang ditetapkan, bahkan nilaiku melebihi standar. Tapi kini, semua itu sia-sia.
Gapura itu bertuliskan “ Selamat datang di pondok pesantren ” Tempat apa ini? Kenapa banyak sekali anak laki-laki berpakaian serba putih semacam jubah panjang dengan kopyah putih dikepala? Kopyah yang biasa papa kenakan waktu sholat. Kebanyakan dari mereka tidak memakai alas kaki. Padahal Matahari sangat terik. Mereka tertawa bebas seolah-olah tanpa beban. Berjalan bergerombol, sesekali saling menoyor bahu yang lain. Siapa mereka, kenapa mereka berada disini?” Gumamku dalam hati.
“Itu namanya santri, Sayang. Mereka sama, jauh dari orang tua, mereka hidup dengan teman. Kehidupan sehari-hari, mereka lakukan bersama teman.” Jelas papa menjawab tatapanku tadi. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil. Aku tetap enggan bersuara.
 Halaman pondok ini sangat luas, ada beberapa gedung yang mengililingi halaman pondok ini. Tepat  disebalah kananku berdiri, terlihat bangunan besar kokoh berdiri disana. Bisa kuketahui dari bentuknya bangunan ini adalah masjid. “Indah sekali”. Gumamku. Arsitekturnya berbeda dengan kebanyakan masjid pada umumnya. Masjid ini berkubah biru. Yang unik dari masjid ini adalah tidak memiliki pintu. Dari arah manapun masjid ini bisa dimasuki. Angin menerpa kerudung merah hati yang aku kenakan. Kakiku melangkah mendekati serambi masjid. Mengamati lebih dekat bangunan itu.
Subhanallah.” Indah sekali gumamku lirih. Aku menyentuh lantai marmer berwarna putih masjid ini. Ndeso-ku
   “Pa, boleh tidak Anisa sholat disini?”  Tanyaku mendadak, ini suara pertamaku sejak dua hari lalu.
  “Boleh. Boleh sayang. siapa saja boleh sholat disini. Itu alasan kenapa masjid ini tidak berpintu. Pendiri pondok mengisyaratkan agar membangun masjid ini tanpa pintu agar siapa saja bisa bebas beribadah disini tanpa rasa canggung. Jawab papa dengan wajah berbinar-binar
“Meskipun bukan santri atau warga pondok pa?” Tanyaku cepat.
“Iya sayang. Siapapun. Tanpa terkecuali!
Seusai sholat dhuhur papa menuju tempat pendaftaran. Mengisi formulir persyaratan. Papa kembali dengan membawa map berwarna biru. Tubuhku bergetar. Sadarkan aku, bahwa ini hanya mimpi. Air mataku terjatuh lagi. Aku ingin lari dari semua kenyataan ini, tapi tubuhku kaku seolah-olah pasrah menerima takdir.
 “Pa, Nisa gak mau mondok. Nisa mau pulang. Ma, Nisa gak mau jauh dari Papa, Mama.” pintaku memohon.
     “Anisa sayang, lihat papa nak. Sejak kapan Nisa jadi cengeng? Ikhlaskan hatimu nak. Agar semuanya menjadi lebih ringan.” Jawab papa sambil mengecup lembut kepalaku 
     Nak, semua orang itu pasti akan ada masanya harus mandiri, Nisa gak bisa terus-terusan bergantung sama mama papa. Nisa sudah besar nak, kami ingin Nisa tumbuh menjadi wanita sholihah nantinya.” Mama memelukku erat sambil menciumiku tanpa henti.
         Permisi, mari saya antar ke pondok putri, pondok putrinya di sebelah sana. Ucap salah seorang wanita yang mungkin salah satu panitia pendaftaran.

Ketentuan pondok putri sebagai berikut:
1. Membawa pakaian maksimal 5 stel berbahan katun,tidak boleh berbahan kaos.
2. Tidak boleh membawa barang elektronik. Kecuali laptop untuk anak kuliah  
3. Rambut hitam, tanpa pewarna, tidak bertato
4. Sambangan khusus hari minggu
5. Mentaati peraturan pondok                     

Wanita itu mengantarkanku menuju kamar baruku. 29 itulah nomor kamarku. Lagi-lagi mataku memanas melihat bangunan serba putih dihadapanku. Tempat apa ini, apa ini yang dinamakan pesantren? kugigit bibir bawahku usahaku menahan tangis yang melonjak ingin keluar. Banyak sekali orang disini. aku tidak bisa tidur dengan banyak orang, aku tidak bisa tidur tanpa kasur,apalagi harus tanpa alas. Sungguh aku tidak bisa. Aku berlari mengejar mama papa yang sudah pergi meninggalkanku.

“Ayo pulang ma,pa pulang, Nisa janji,Nisa gak akan nakal lagi ma, ayo pulang ma, pulang.“ Tangisku tak tertahankan lagi.

“Nisa sayang, sudah nangisnya nak, mama memondokkan Nisa itu bukan karena Nisa nakal, tapi ini memang sudah kewajiban mama dan papa untuk mendidik Nisa menjadi  pribadi yang lebih baik dan berakhlakul karimah nak, itu kenapa kita menitipkan Nisa disini nak.”Ucap mama dengan air mata tak kalah derasnya denganku.

“Anisa sayang, anak papa kan kuat!Anisa pasti bisa melewati ini semua nak, kita yakin Nisa pasti jadi orang sukses. Masuklah nak,, disini tempatmu gerbang kesuksesan sudah menunggumu, patuhi aturan pondok, jangan sesekali kamu melanggar, meski itu hanya pelanggaran kecil. Doa kita selalu menyertaimu, kita sayang Nisa.” papa mama memeluk dan menciumku.

Pukul 17.00. Suara merdu itu memenuhi indra pendengaranku. Hatiku terasa perih tapi sedikit lebih tenang. Bacaan apa ini, aku tidak pernah mendengar lantunan ini sebelumnya.
“Aa’laika bitaqwallahhifissirriwal a’laan “ kenapa hatiku bergetar mendengarnya.

“Ayo adek-adek wudhu sudah a’laaika sebentar lagi sudah adzan magrib.” ucap seorang wanita dengan tongkat ditangannya.

“Dek Anisa, sampeyan udzurkah? ” tanyanya yang hanyaku balas dengan gelengan kepala.

“Kalok gitu ayo cepat ambil wudhu, sudah aa’laika sebentar lagi adzan.”

“Oh lantunan ayat indah itu bernama aa’laika, tanda sebagai sudah dekatnya waktu magrib.
           
            Setelah mengambil wudhu dan bersiap-siap aku dan santri lain bergegas menuju masjid tak berpintu yang kukagumi sejak pertama kali aku melihatnya untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah. Seusai sholat magrib semua santri tidak beranjak meninggalkan masjid, mereka hanya merapatkan duduk mereka untuk mengikuti wadhifah pondok yaitu burdah dan nasyid. Setelah wadhifah dilanjutkan dengan sholat isya’ dan sholat sunnah liqodoil hajat. Setiap doa yang aku panjatkan tidak pernah lepas dari harapanku bahwa ini semua akan cepat berakhir. aku merindukan mama papa, aku merindukan duniaku.

            Pukul 20.30. Waktunya makan malam bagi semua santri, ini adalah makan malam pertamaku di pondok pesantren ini. Tapi aku tidak lapar, aku tidak ingin makan aku, aku tidak ingin apa-apa aku hanya ingin pulang. Aku tetap pada posisiku, duduk di depan kamar menyaksiksan lalu lalang santri lain yang tampak sangat berbeda denganku yang hanya sibuk mengurusi sesak di dada. Mataku menangkap benda berbentuk lingkaran dengan diameter cukup besar. benda apa itu kenapa mereka memakainya sebagai wadah makanan, kenapa mereka makannya empat orang, kenapa?.Banyak sekali pertanyaan yang terlintas atas apa yang baru saja aku lihat. Tiba-tiba saja suara seseorang mengagetkanku. “Hei mbak, sudah punya temen makan belum? kalok belum ayo sini gabung bareng kita aja, kebetulan temen makan kita kurang satu nih.”ucapnya tanpa jeda dengan raut wajah sangat bersahabat. Belum sempat aku mengiyakan ajakannya, dia sudah menarikku untuk bergabung dengan temannya yang lain.

Di tengah-tengah makan bersama kita, ia yang tidak kuketahui siapa namanya membuka suara. “Disini kalok makan emang talaman kayak gini, satu talam empat orang beda sma pondok-pondok lain.ini yang menjadi ciri khas tersendiri. Romo yai sendiri yang dawuh kalok makannya bareng itu meskipun lauknya sederhana tetap nikmat dan barokahnya itu ya pas waktu makan barengnya itu.”

“Oh, piring besar ini bernama talam.” aku mengangguk mengerti


Kenapa waktu berjalan sangat lambat, kapan masa pondok ini berakhir?
 belum genap satu hari aku bermukim disini tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun. sudah dini hari, tapi mataku tetap  enggan terpejam. Aku rindu mama papa. aku ingin pulang, aku  ingin tidur dikasur bermotif jangkar kesayanganku, bukan di lantai tanpa alas seperti ini, aku juga ingin makan dipiring biasa, bukan dipiring besar yang mereka sebut talam itu. Aku ingin bebas, aku ingin pulang. Tapi untuk saat ini aku tidak bisa apa-apa sel;ain pasrah akan apa yang terjadi, meski berat aku akan akan tetap bertahan. Tanpa terasa mataku terpejam saking beratnya, belum lima menit aku memejamkan mata tiba-tiba aku mendengar suara keras seperti sesuatu yang sengaja dipukul-pukulkan. Tak lama dari suara itu aku mendengar suara lantunan ayat suci alquran yang bisa kutebak berasal dari speaker masjid. Kepalaku terasa berat sekali, tapi suara keras itu memaksaku untuk bangun. “  Ya tuhan ini masih jam tiga pagi, aku tidak pernah bangun sepagi ini dan bertahan untuk tidak tidur mulai dari sholat shubuh, wirid,tahlil,ngaji al quran sampai  sholat isyroq, dhuha dan istiadzah dan ini benar-benar menakjubkan bagiku.

           
            Hari ini adalah hari senin, hari dimana santri dianjurkan untuk berpuasa sunnah senin-kamis. Apalagi ini, aku tidak pernah berpuasa selain berpuasa di bulan ramadhan. Oh tuhan banyak sekali kegiatan pondok ini. Gumamku lirih. Aku memilih tidak berpuasa karena aku masih belum bisa menyesuaikan diri.
           
            “Dek nanti, makan malamnya diganti makan sore, karena hari ini kan, hari puasa. Ucap mbak Qoqom ketua kamarku.
           
            “Iyaaaaa mbak” jawab teman-teman kamarku kompak.

            “Oh iya dek, nanti malam kan malam jumat. Jadi, nanti setelah sholat isya’ waktunya maulidurrasul. Kitabnya yang berwarna biru dek.” Tambah mbak Qoqom

            “Iyaaa mbaakk.”


Allahuakbar, allahuakbar...                                                            

            Semua santri makan dengan lauk yang cukup istimewa dibanding hari-hari biasanya. Khusus hari senin dan kamis lauk yang sajikan memang lebih istimewa, karena di dua hari itu adalah hari dianjurkan berpuasa, ini memang salah satu hal yang sangat di anjurkan oleh Romo yai,pendiri pondok pesantren.

           
Yanabii salaam a’laaika...

            Suara terbangan berbunyi sesuai lantunan sholawat yang dibaca. Sholawat yang dihaturkan kepada baginda Rasulalllah S.A.W.  Indah sekali bait-bait untuk memuji Rasulmu Ya rabb. Lagi-lagi hatiku bergetar , butir bening itu terjatuh lagi. Hatiku damai mendengar setiap bait sholawat yang dibaca,
 seusai  maulidurrasul para santri bersalaman sebagai tanda saling memaafkan atas  keselahan selama sepekan kemarin.  Inikah anugrah yang hampir saja aku sia-siakan. 


            Hari jumat  waktunya santri berziarah ke pesarean Romo yai, pagi untuk santri yang sekolah siang, sore untuk santri yang bersekolah pagi. Bacaan tahlil sudah dimulai, para santri mulai mengikuti dengan khusu’dan khidmat.
 Aku sengaja pulang paling akhir, aku masih sibuk dengan  doaku, sibuk dengan keluh kesahku. Aku yakin beliau pasti mendengarnya . suara a’laikaa mengharuskanku mengusaikan curhatku dengan beliau, sebelum kembali ke pondok putri kusempatkan meneguk air yang mengalir langsung dari pesarean Romo yai .

            Hari Sabtu  waktunya santri untuk membersihkan kamar (Roan) sesuai dengan jadwal piket yang telah ditentukan. Tidak seperti biasanya setelah sholat magrib khususs hari sabtu adalah waktunya manaqiban. Semua santri membaca manaqib dengan khusu’. Manaqib adalah sejarah Kanjaeng Syeikh Abdul Qodir Al Jailani,beliau adalah rajanya para wali. Setelah sholat isya’ seperti biasa adalah waktunya santri makan malam dan khusus hari sabtu juga adalah waktu yang sangat di tunggu-tunggu selain hari minggu, karena malam minggu adalah waktunya “NOBAR” yaitu nonton bareng dengan layar besar di tengah halaman pondok. 
            Dan hari minggu adalah hari yang sangat spesial bagi santri yang memang waktu kunjungan mereka, karena di hari itu mereka bisa bertemu dengan keluarga mereka. Meluapkan semua keluh kesah dan kerinduan mereka.

                                                            ***
            Waktu terus berjalan ke depan, meski bagiku sedikit melambat. Empat tahun sudah aku menimba ilmu di pondok pesantren tercintaku ini. Banyak pelajaran yang aku dapatkan, yang  tidak pernah aku dapatkan sebelum aku menjadi seorang santri. Disni aku belajar apa itu menghargai, disini aku belajar bahwa hidup tak selamanya akan berjalan sesuai dengan harapan dan disini aku mengerti bahwa takdir tuhan jauh lebih indah dan tentu yang terbaik.
                       
            “Kepada Anisa Putri Rahardian Binti bapak Rahardian Fahrullah dengan predikat mumtaz!” ucap yudisium itu dengan lantang.

             “Allah, benarkah ini?” Kulangkahkan kaki menuju panggung wisuda dengan dada bergetar. aku lulus sebagai wisudawati terbaik. Papa mendampingiku menerima piala dan sertifikat penghargaan.

Papa dan  mama memelukku erat, mereka  sangat bahagia dan bangga  atas apa yang aku raih. Sungguh rasa syukur tidak habisnya terucap dari bibir kami. “ Selamat nak, perjuanganmu tidak sia-sia. Ini buah dari kesabaranmu nak, selamat berjuang ke jenjang selanjutnya.Papa bangga sama Nisa nak.” Ucap papa dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih ma, pa ini semua berkat kalian juga,  tanpa kalian, Nisa  tidak akan menjadi seperti sekarang jni. Maafin Nisa, sempat menentang keras keputusan papa mama dulu.” Ucapku di pelukan papa mama.” Nisa sayang mama papa.” 
“ Iya nak , kita juga sayang Nisa. Semoga tetap istqomah nak, meskipun Nisa nanti sudah gak mondok lagi, berperilakulah seperti di pondok nak, amalkan apa yang sudah kamu dapatkkan selama di pondok.

               
               
  Pesan Romo Yai yang menjadi cerminanku untuk bertahan dan menghadapi pahit manis menjadi santri yang  aku dapat dari ustad sepuh yang menyadarkanku tentang tujuan hidup yang sebenarnya.

                “ Orang menjalani hidup itu jangan terpaku pada harapan dan keiinginan pribadinya saja. Jangan terpaku pada target , jangan! Silahkan kamu bercita-cita , tapi jangan terpaku (hanya pada cita-citamu saja). Jangan kemudian menutup diri, menjadi emoh terhadap apa yang selain cita-citamu itu.  Kenapa begitu?.  Sebab kalau kamu hanya terpaku pada harapanmu, maka selamanya kamu tidak akan merasakan bahagia. Sebab yang namanya orang bahagia itu adalah orang yang lahir batinnya selalu siap menerima dan menghadapi kenyataan di depan matanya. Bahagia itu bukan terwujudnya harapan. Bukan .. jangan salah, yang seperti itu hanya tipuan nafsu. Terwujudnya harapan itu semu dan sementara . coba kamu buktikan , ikuti kemauanmu !. Gak akan lama kok, kamu akan merasa bosan dan merasa sudah gak bahagia lagi. Padahal yang kamu maui itu masih kepegang tanganmu. Jadi, saya garis bawahi lagi, yang namanya bahagia itu, ketika orang itu sudah siap dan bisa menerima atau menghadapi kenyataan di hadapannya. Itu bahagia...”
               
Hadratusy Syaikh KH. Achmad asrori Al Ishaqi RA




                                                                                                                                                                                                                                             Surabaya,03 November 2018                                        

Komentar

Posting Komentar